Ketika layar bioskop arus utama tak bisa diandalkan sementara film-film alternatif harus terus disebarkan, layar-layar komunitas jadi jujugan menjanjikan.
Dalam waktu tiga bulan saja, film Ahu Parmalim yang dirilis oleh Yayasan Kampung Halaman telah diputar di 98 layar di 48 kota di 17 provinsi di Indonesia. Capaian yang menggembirakan mengingat distribusi film ini dilakukan secara mandiri tanpa melibatkan jaringan layar arus utama yang sudah mapan. Film besutan Cicilia Maharani ini adalah garapan teranyar YKH yang sebelumnya telah banyak memproduksi film-film dokumenter lainnya. Film ini mengangkat cerita soal remaja penghayat Ugamo Malim di Balige, Toba Samosir yang secara umum menyoal toleransi terhadap agama kepercayaan. Seperti film dokumenter YKH lain yang berfungsi sebagai media kampanye, Ahu Parmalim tentu memiliki urgensi yang harus terdistribusi dengan baik ke sebanyak mungkin penonton dimanapun mereka berada, atau paling tidak seluruh Indonesia.
Ahu Parmalim sendiri adalah salah satu hasil program Film Kolaborasi, dimana YKH melibatkan subyek film secara aktif selama proses produksinya. Artinya segala gagasan, konsep, dan eksekusi film ini melibatkan kedua belah pihak. Selain Film Kolaborasi, YKH juga punya program berbasis produksi lain yaitu Depot Video dimana warga lokal berkuasa penuh atas proses produksi video sementara YKH hanya bertindak sebagai fasilitator. Kedua program ini telah menghasilkan banyak sekali video yang punya isu dan konflik yang beragam.
Sejak berdirinya pada 2006 lalu, YKH memang memantapkan diri menggunakan audio-visual sebagai media komunikasi mereka. Dalam produksinya, laku partisipatoris dengan warga lokal selalu ditonjolkan. Dengan model kerja seperti ini, warga lokal dari tiap daerah akan terlibat langsung dalam usaha pemecahan masalah mereka. Karena demokratis dengan mempertemukan banyak gagasan dan perspektif, kemungkinan penemuan solusi konfliknya juga makin besar. Cangkupan masalah yang terekam dalam kamera juga akan bertambah beragam, ini belum termasuk sumbangan nuansa lokal seperti bahasa, budaya, agama, dan konteks kedaerahan yang krusial dalam sebuah film. Selain itu, model kerja partisipatoris ini juga menghindarkan pihak KH untuk mengobjektifikasi warga lokal. Fauzanafi, salah satu pendiri Kampung Halaman menjelaskan, “Kampung Halaman menggunakan video untuk membuat perubahan. Kami tidak bekerja dengan video, kami bekerja dengan orang, dan video adalah alat komunikasi kami, juga untuk menyebarkan pesan ke komunitas-komunitas lain.”
Penggunaan media audio-visual juga sangat efektif untuk remaja yang memang jadi sasaran utama program-program YKH. Lewat prakteknya selama ini YKH percaya bahwa proses perubahan sosial masa kini tidak hanya dipengaruhi oleh distribusi atau pertukaran barang/uang dan mobilitas manusia, tapi juga lewat pertukaran imaji atau bayangan melalui media, khususnya media audio-visual. Konten audio-visual yang paling banyak dikonsumsi oleh remaja Indonesia tentu saja lewat televisi, film, maupun internet yang makin menubuh di keseharian. Gawatnya, konten-konten yang dikonsumsi oleh remaja dari ujung timur ke barat Indonesia ini mayoritas bermasalah. Kerapnya karena diproduksi secara terpusat dan dikendalikan kepentingan industri, sajian dalam media arus utama justru kerap memisahkan mereka dari lingkungan dan hidup mereka sehari-hari, menghilangkan sensitifitas dan keterikatan mereka pada komunitasnya sendiri. Sebagai contoh, remaja perempuan di sebuah desa di Jawa yang harusnya akrab dengan sawah dan matahari, karena imaji kecantikan yang disuntikkan lewat televisi jadi enggan bersentuhan dengan tanah dan lebih banyak menghabiskan waktu bersolek. Kasus serupa juga banyak terjadi di daerah-daerah lain, potensi lokal yang sebenarnya dimiliki para remaja diabaikan begitu saja demi cita-cita menjadi remaja perkotaan yang kerapnya justru mencabut mereka dari akarnya.
Untuk mencapai tujuan kampanye itu, salah satu hal yang jadi fokus YKH adalah proses distribusi film yang mereka produksi. Gampangnya, distribusi film adalah soal memutar film di sebanyak mungkin layar untuk mendapat sebanyak mungkin penonton. Namun dengan kenyataan yang harus dihadapi di lapangan, lembaga seperti YKH yang memproduksi konten alternatif seperti film dokumenter ini harus menemukan siasat untuk menyebarkan filmnya.
Umumnya masyarakat hanya tahu bioskop sebagai tempat menonton film. Di Indonesia sendiri, jumlah layar bioskop masih sangat terbatas. Saat ini, bioskop masih dikuasai beberapa korporasi saja, seperti Cinema 21, CGV, Cinemaxx, dan beberapa perusahaan kecil. Kebanyakan bioskop berada di Pulau Jawa, yaitu 183 bioskop dengan 988 layar atau sekitar 70 persen dari total layar. Paling banyak adalah DKI Jakarta dengan 54 bioskop, disusul Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Tengah. Dari 99 kota dan 416 kabupaten di seluruh Indonesia, baru 58 kota dan 21 kabupaten yang memiliki bioskop. Dikutip dari Tirto, Adrian Jonathan Pasaribu, pendiri situs Cinemapoetica, bioskop yang ada saat ini tidak mampu mengakomodasi masyarakat. Menurutnya, bioskop Indonesia hanya memutar sekitar 100 film setiap tahunnya. Sementara itu, tiap tahun ada sekitar 300 film alternatif, termasuk film pendek, dokumenter panjang, dokumenter pendek, sampai film eksperimental. Jika menurut jumlah, film alternatif sebenarnya adalah mayoritas, namun tak mendapat jalur distribusi arus utama sehingga paparannya ke publik kurang terasa.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf dalam sebuah kesempatan menuturkan ,“Kita saat ini masih under service, dari penduduk 250 juta Indonesia, hanya ada 1250 layar saat ini. Cina misalnya sekarang sudah punya 60.000 atau 70.000. Penonton Indonesia ini masih kekurangan layar, kita ingin dalam lima tahun ke depan bisa menggandakan jumlah yang sekarang ini.” Masalah jumlah itu masih ditimpali kebijakan pemilihan film untuk diputar yang didasari motif ekonomi yang tentunya akan mengesampingkan film-film dokumenter semacam yang diproduksi oleh YKH maupun lembaga sejenis.
Di tengah keterbatasan tersebut, YKH menemukan jalur lain untuk mendistribusikan filmnya, yaitu layar alternatif berbasis komunitas. Pemutaran-pemutaran berbasis komunitas ini biasanya berbentuk screening terbuka, festival, maupun ruang putar yang sudah berjalan reguler secara independen. Biasanya layar-layar komunitas ini bersifat non-profit dan lebih punya orientasi pada konten film dan wacana yang dibawa oleh sebuah film ketimbang hitungan untung-rugi.
Untuk film Ahu Parmalim misalnya, seluruh pemutarannya diadakan di layar-layar alternatif yang mengandalkan jaringan komunitas yang dibangun secara sengaja. Sejak beberapa hari sebelum Ahu Parmalim dirilis pada Hari Toleransi Internasional 2017 lalu, puluhan komunitas telah mendaftar untuk membuat pemutaran. Setiap komunitas ini akhirnya terdaftar dalam sebuah wadah data yang di level tertentu saling terhubung secara kegiatan maupun wacana yang sedang digarap. Penonton di pemutaran di layar-layar alternatif ini memang tak semasif di bioskop alternatif, biasanya sekitar 10-50 penonton untuk masing-masing layar, tapi ketika jumlahnya banyak dan saling bergandeng tangan membentuk jaringan maka kekuatannya patut diperhitungkan.
Dari data yang terkumpul di situs YKH, film Ahu Parmalim diputar paling banyak di Jawa Timur (14 titik), Sumatera Utara (12 titik), Yogyakarta (12 titik), Jawa Tengah (12 titik), dan Jawa Barat (12 titik). Titik-titik lain tersebar di banyak kota seperti Gorontalo, Banten, sampai Bali. Lewat jaringan komunitas juga, film ini sampai di Duke University di North California USA dan The University of Melbourne di Australia. Layar komunitas di daerah-daerah bahkan punya kesempatan jumlah layar lebih banyak daripada yang bisa dicapai ketika film diputar di layar bioskop arus utama yang tak menjangkau daerah tersebut. Itu baru dari geografis, jika dilihat dari keragaman fokus komunitas yang terlibat, Ahu Parmalim bisa dibilang telah melampaui target sasarannya sendiri. Ini menariknya jika film diputar di layar komunitas yang punya perhatian terhadap wacana, yaitu bahwa penonton yang datang tidak hanya akan menonton film tapi juga mendapat muatan lebih lewat diskusi dan obrolan-obrolan intim.
Dari catatan YKH, komunitas yang telah memutar memiliki beragam sekali fokus. Misalnya GUSDURian di berbagai kota, Sangkanparan (Cilacap) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Semarang yang berfokus pada isu agama. Juga Tunas Naimbaru dan Organisasi Ugamo Malim (Sumatera Utara) dimana film ini kembali ke kampung halamannya. Banyak juga dari komunitas yang bersifat akademis misalnya dari Program Studi Agama dan Lintas Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (CRCS – Yogyakarta), Pers Mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo, Sekolah Dasar Kanisius Babadan (Yogyakarta), Institute Peace and Security Studies (IPSS – Salatiga), SMAN 1 Jepara, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (Jakarta), dan banyak lainnya. Para penggerak literasi independen di berbagai daerah seperti Kata Kerja (Makassar), Mini Nemu Buku (Palu), Kampung Sinaoe Sidoarjo, Taman Baca Masyarakat Bandae (Bone), Halte Nelayan (Polewali Mandar) dan lainnya. Selain komunitas, Ahu Parmalim juga menjangkau ruang-ruang putar alternatif yang memang sudah punya program reguler seperti Kineforum (Jakarta), Kolektif (Jakarta), dan Kinotika (Makassar).
Ini tentu saja memperluas jangkauan film Ahu Parmalim sekaligus memperbanyak perspektif dialog yang muncul paska menonton film ini. Semua komunitas yang terkesan sporadis ini dalam tataran tertentu sudah menyambung benang merah mereka. Seumpama aktivis yang menemukan kawan seperjuangannya. Pada layar-layar komunitas yang diasuh dengan personal oleh para penggeraknya ini, semangat yang dibawa lewat film sejenis Ahu Parmalim tak akan mati setelah adegan terakhir selesai disorotkan ke layar. Dialog dan wacana akan bermunculan dari banyak daerah, akan terus menjalar, menulari lebih banyak orang lewat cara-cara yang mengejutkan dan pada akhirnya mencapai tujuan akhir pesan film-film alternatif itu sendiri. Dalam kasus Ahu Parmalim, semoga semangat-semangat kecil yang tersebar soal toleransi ini hinggap di benak tiap penonton yang hadir dimanapun titik pemutaran dan bertambah besar dan suatu hari membentuk bangunan kebijaksanaan yang kokoh dan kuat. Panjang umur jejaring komunitas!