Penghayat Ugamo Malim | Ahu Parmalim

Penghayat (Malim) sebagai Satu Tak Terbedakan

“In reality, there are as many religion as there are individuals” – Mahatma Gandhi

Seorang pemuda berkulit gelap tengah duduk di bangku dalam kelas. Tubuhnya tegap, rambutnya dipotong cepak, dan sorot matanya penuh semangat. Memakai seragam putih abu-abu, ia nampak serius mengikuti pelajaran sambil sesekali bercanda dengan teman di dekatnya. Di lengan seragamnya tertulis SMKN 1 Balige. Sekilas ia nampak tak ada bedanya dengan siswa-siswa yang lain. Kecuali bahwa tiap hari Kamis pagi, ia harus berpisah dengan teman sekelasnya untuk mengikuti kelas Kebaktian Sikap pelajaran Malim di kelas lain. Ia adalah Carles Butar-Butar, karakter utama dalam film Ahu Parmalim yang tengah digarap oleh Yayasan Kampung Halaman yang akan dirilis 16 November nanti.

Dalam film berdurasi sekitar 24 menit itu, nampak Carles bersama 15 teman Parmalimnya yang lain  tengah mengikuti pelajaran agama Malim. SMKN 1 Balige, sekolah Carles, adalah sekolah pertama yang mengadopsi modul dan kurikulum Ugamo Malim secara resmi. Hal ini kemudian diikuti beberapa sekolah lain di daerah pusat lahirnya parmalim ini.  Meski Malim sendiri masih belum diakui pemerintah sebagai agama, namun para penghayatnya telah sangat mengembangkan agama lokal suku Batak ini hingga sudah punya organisasi dan kurikulum sekolah. Meski secara jumlah, Parmalim tetap masuk sebagai minoritas, namun secara struktur organisasi keagamaannya bisa dibilang sudah sangat matang dan tertata.

Penghayat Ugamo Malim | Ahu Parmalim
SMKN 1 Balige

Kehidupan Carles Butar Butar sebagai pemuda Parmalim di Balige tak terlalu berbeda dengan remaja lain. Senin sampai Sabtu ia sekolah, sorenya ia membantu bapak dan ibunya di sawah, pada hari libur ia juga kadang pergi main dengan teman sebayanya. Begitupun dengan kehidupan romantis ala anak mudanya. Ketika ditanya soal itu, Carles menjawab dengan tawa tertahan, “Sama aja kok, pacarku aja agamanya Kristen. Dan dia baru tahu aku Parmalim, jadi aku harus jelaskan ke dia apa itu Malim, tapi dia bisa mengerti.” Saya membayangkan di ujung gagang telepon di sana, pipi Carles tengah tersipu bangga.

Jika tak ada obrolan mengenai agama yang dianut oleh Carles, tak akan ada yang tahu bahwa ia adalah seorang Parmalim. Ia sama saja seperti remaja lain yang pergi ke gereja atau masjid, hanya saja Carles melakukan ibadah di Bale Pasogit. Dalam ibadahnya Carles juga melantunkan doa-doa (tonggo-tonggo) menyembah Tuhannya, seperti ritual agama lain. Ia tergabung dalam Tunas Naimbaru, organisasi kepemudaan para parmalim di Huta Tinggi. Organisasi seperti ini membuat Carles punya hubungan yang solid dengan teman-temannya. Bersama Naposo atau pemuda parmalim lain, Carles rutin mengadakan pertemuan untuk berbagai kegiatan. Marguru, ngobrol, latihan manortor, bahkan belajar bersama untuk menghadapi ujian di sekolah. Kegiatan keagamaan di organisasi pemuda ini tak melulu serius atau kaku. Yang terpenting, organisasi ini adalah wadah untuk meneruskan pengetahuan dan ajaran Hamalimon Parmalim kepada generasi-generasi muda. Agar tak lupa pada Debata Mulajadi Nabolon, tapi tak lupa juga mengikuti perkembangan zaman.

Beberapa nasihat yang kerap diajarkan saat Marguru atau saat di Tunas Naimbaru adalah bahwa sebagai pemuda Parmalim mereka tidak boleh minder, atau bahkan keluar dari Ugamo Malim hanya karena merasa berbeda dengan kelompok mayoritas. Karena salah satu budaya suku Batak adalah merantau, kegiatan di Tunas Naimbaru juga menjadi bekal mereka agar nanti di perantauan mereka tak membuat malu suku Batak dan Parmalim.

Carles yang sekarang duduk di kelas 2 jurusan teknik mesin ini juga punya kegiatan ekstrakuliler di luar jam sekolah, yaitu Kung Fu dan Patroli Keamanan Sekolah (PKS).  Dua kegiatan yang sengaja ia ikuti untuk latihan fisik dan kedisplinan, karena Carles mengaku sangat ingin menjadi anggota TNI. Dalam wawancara yang terekam dalam film dokumenter Ahu Parmalim, Carles bercerita bahwa ia tak terlalu khawatir soal apakah ia akan mendapatkan diskriminasi karena agamanya saat mendaftar nanti. Yang pasti ia akan berusaha semaksimal mungkin. Orang tua Carles pun mendukung cita-cita anaknya meski mereka kemudian bersikap realistis mengingat kecenderungan laku diskriminatif yang masih kerap diterima para penghayat ketika keluar dari komunitas mereka. Karena meski dari segi ketrampilan pemuda Parmalim atau penghayat pada umumnya bisa bersaing, tapi secara administratif mereka kerap dikalahkan. Ini merupakan salah satu bentuk diskriminatif secara administrasi yang diterima penghayat agama kepercayaan.

Penghayat Ugamo Malim | Ahu Parmalim
Carles Butar-Butar

Persoalan keberagaman agama di Indonesia ini sayangnya belum banyak dibicarakan. Padahal sudah banyak yang berubah sejak peraturan pemerintah tahun 1969 yang hanya mengakui 6 agama resmi. Seluruh anggota keluarga Carles sendiri adalah Parmalim. Kolom agama di KTP orang tua dan dua kakak Carles tidak diisi, ini sesuai dengan UU Kependudukan No.24 tahun 2013 untuk penghayat kepercayaan. Secara umum, di Tanah Samosir sendiri sudah tak ada diskriminasi terhadap Parmalim. “Kalau disini aku tidak pernah mengalami diskriminasi sih, sama teman-teman yasudah biasa saja,” cerita Carles. Namun ia tak tahu bagaimana nanti kalau ia sudah pergi merantau. “Aku ingin sih terus mengenalkan apa itu Parmalim, siapa itu Debata Mulajadi Nabolon, kalau sudah dijelaskan biasanya akan paham bahwa sebenarnya tujuan agama kita semua sama,” tutur Carles ketika ditanyai pendapatnya tentang diskriminasi terhadap Parmalim.

Film Ahu Parmalim ini dibuat sebagai salah satu usaha membawa isu tentang agama lokal ini ke permukaan. Disutradari oleh Cicilia Maharani, film ini tak hendak menunjukkan konflik vis a vis antara pemerintah dan Parmalim, tapi justru akan terlihat bahwa sebenarnya penghayat dan penganut agama resmi dalam kesehariannya hampir tak ada bedanya. Bahwa perkara beda-membedakan adalah hasil dari putusan pemerintah yang justru berdampak hingga sekarang.

Indonesia selalu digembar-gemborkan sebagai bangsa yang menghargai keberagaman, di bidang apapun. Sayang sekali jika agama yang sebenarnya secara universal selalu menuntun umatnya menuju kebaikan harus dipermasalahkan hanya karena nama atau bentuk ritualnya. Bukan bermaksud meremehkan, tapi bukankah harusnya agama itu adalah urusan tiap individu dengan Tuhannya masing-masing. Suku Batak sendiri sebenarnya terkenal dengan suku yang menjunjung tinggi adat dan punya rasa persaudaraan yang tinggi. Ketika adat yang tujuannya adalah hubungan antara sesama anggota suku dijunjung, harusnya kerukunan di tengah keberagaman adalah prioritas utama. Agama boleh beda nama, tapi jika tiap-tiap orang terbuka dan mau mempelajari esensi dari masing-masing kepercayaannya, maka akan diraih hubungan harmonis tanpa harus gampang tersulut untuk bertindak tidak adil.

Dari film Ahu Parmalim ini, akan terlihat bagaimana diskrimasi terhadap agama hampir tak ada artinya jika dibanding dengan menghargai ketrampilan Carles dan teman-teman Parmalim muda lainnya. Begitu juga dengan remaja penghayat lain di Sunda Wiwitan, Samin, Kejawen, Wetu Telu, Aluk Tadolo, dan semua agama lokal lain. Karena jika kebaikan adalah kebenaran paling utama, maka harusnya penghayat dan penganut agama resmi adalah satu yang tak usah dibeda-bedakan.