Selain enam yang diakui negara, nyatanya masyarakat Indonesia punya ratusan agama lokal warisan nenek moyang asli tanah air. Agama-agama bumi yang sampai sekarang belum diakui, dan bahkan dilabeli macam-macam. Dari ratusan yang ada, Ugamo Malim adalah salah satu yang bertahan dan berkembang mengikuti zaman.
Saya masih ingat, suatu siang di tahun 2003 yang gerah di ruang kelas 2 SD, saya sedang duduk gelisah di bangku. Pak B (sebut saja begitu) guru agama Islam yang menurut saya saat itu cukup galak sedang menjelaskan tentang sejarah-sejarah agama di Indonesia. “Di Indonesia hanya ada 6 agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budhha, dan Konghucu,” jelasnya sambil sesekali membenarkan peci. Ia menjelaskan bahwa sebelum itu, masyarakat Indonesia hidup dalam zaman jahiliyah dan menyembah berhala. Selebihnya tak ada penjelasan. Sebagai anak SD yang kolam pikirannya masih begitu polos, penjelasan macam ini membuat kesimpulan saya dan teman-teman perihal agama mandeg alias berhenti di situ.
Celakanya, beberapa orang membawa kesimpulan itu sampai ia dewasa. Padahal ada fakta lain yang tak sesederhana penjelasan guru SD saya itu. Mari kita lakukan sedikit hitungan matematika dari data yang saya ambil dari sensus tahun 2010. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dari tanah Arab saat ini jadi agama mayoritas yang dianut oleh warga Indonesia yaitu sebanyak 87,18% dari total penduduk. Lalu diikuti oleh Kristen Protestan dengan penganut sebanyak 6,96%, diikuti oleh Katolik sebanyak 2,91%, Hindu 1,69%, Budhha sebanyak 0,72%, serta Konghucu hanya sekitar 0,05%. Jika angka-angka tersebut ditotal, hasilnya adalah 99,51%. Dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 256 juta jiwa, masih ada 0,49% alias 400 ribu jiwa yang belum terdata. Lalu agama apa yang dianut oleh 400 ribu jiwa penduduk Indonesia tersebut?
Persoalan dimulai dari pengetahuan yang tersaji di buku-buku ajar sekolah kerap terlalu menyederhanakan fakta dan sejarah. Soal agama misalnya, tak pernah ada pelajaran mendalam tentang era sebelum enam agama tadi disebar di Indonesia. Informasi yang kerap diulang lagi dan lagi adalah soal animisme dan dinamisme. Mereka dianggap menyembah roh-roh dan pohon-pohon atau situs-situs sakral tertentu, dan hal-hal semacam ini kerap diasosiasikan dengan sifat ‘purba’ dan hal tak baik lain. Padahal di Indonesia, ada sedikitnya 245 agama lokal yang ada. Catatan ini terdaftar di Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003. Secara hukum, agama-agama lokal ini jadi tak diakui sejak adanya penetapan Presiden no. 1 tahun 1965 dan UU No. 5 tahun 1969 yang menyatakan hanya ada 5agama resmi di Indonesia. Menyusul di tahun 2000, Konghucu diakui sebagai agama resmi ke 6 Indonesia.
Padahal selain enam agama resmi di atas, hampir tiap daerah di Indonesia punya agama asli yang masih dipeluk hingga sekarang. Di Jawa misalnya ada Kejawen dan Kapribaden, lalu orang Sunda punya Sunda Wiwitan, Kaharingan di Dayak, Wetu Telu yang dihidupi suku Sasak di Lombok, Marapu di Sumba, Aluk Todolo di Toraja, Samin di Jawa Tengah, Tolottang di Sulawesi Selatan, Ugamo Malim di Sumatera Utara dan banyak lainnya. Masing-masing punya filosofinya sendiri. Umumnya agama-agama asli nenek moyang Indonesia ini sifatnya berdasarkan pada geografis atau suku tertentu. Meski begitu, dalam level universal, dari ratusan agama asli yang ada, banyak ditemukan pola-pola ritual maupun makna yang serupa. Agama-agama lokal ini umumnya lebih bersifat membumi, ajaran-ajarannya lebih ditujukan untuk penyelerasan dan keseimbangan manusia dan alam tempat tinggalnya.
Sayangnya, sampai saat ini, pengakuan negara atas agama-agama lokal belum ada. Meski demikian, agama ini tetap dihidupi oleh penganutnya yang biasa disebut sebagai Penghayat. Salah satu agama yang bertahan dan berkembang mengikuti zaman adalah Ugamo Malim. Agama ini berawal dari gerakan spiritual yang dipimpun oleh Sisingamangaraja XII untuk melawan penjajahan dari pemerintahan Hindia Belanda. Agama Malim memuja Debata Mulajadi Nabolon sebagai pencipta kehidupan dan menuntut pemeluknya untuk kembali menjalani budaya Batak. Parmalim dipimpin oleh seorang Ihutan yang diangkat berdasarkan garis keturunan marga Naipospos dan punya pusat administratif di Huta Tinggi, Tanah Samosir.
Parmalim percaya bahwa manusia pertama di dunia diturunkan di Pusuk Buhit, sebuah bukit di pulau Samosir, Danau Toba. Sampai sekarang, tanah Batak termasuk wilayah Toba dan Samosir merupakan tanah suci bagi Parmalim. Adam dan Hawa versi suku Batak ini adalah Si Raja Ihat Manisia dan Si Boru Ihat Manisian, yang kemudian membangun perkampungan pertama di Sianjurmula-mula. Sepasang manusia pertama inilah yang lalu jadi nenek moyang suku Batak. Kini, suku Batak jadi suku bangsa terbesar ketiga di Indonesia dengan anggota sekitar 8,5 juta jiwa. Suku Batak adalah salah satu suku yang punya sistem sosial, hukum, dan spiritual yang kompleks.
Penghayat Ugamo Malim percaya ada tiga tingkatan dunia, yaitu Banua Ginjang (Dunia Atas) yang dihuni Debata Mulajadi dan roh-roh nenek moyang, Banua Tonga (Dunia Tengah) yang kita huni sekarang dan Banua Toru (Dunia Bawah). Dalam Hamalimon atau ajaran agama Malim, diatur hubungan para penganutnya dengan Tuhan dan sesama manusia, bahkan alam. Ajaran keimanan terhadap Tuhan atau Debata Mulajadi Nabolon bernama Tondi Na Marsihohot yang diturunkan oleh Sisingamangaraja dan Raja Nasiakbagi yang punya kedudukan seperti nabi bagi Parmalim.
Parmalim juga punya beberapa beberapa ritual upacara, seperti Sipaha Lima yang diadakan di Bale Pasogit yang ada di Huta Tinggi setiap tahun. Upacara ini diadakan sebagai ucapan syukur terhadap hasil panen selama setahun, dan dipimpin oleh sang Ihutan.Selain itu, ada juga ibadah mingguan Mararisabtu, upacara kematian Pasahat Tondi, ibadah rutin Mardebata dan lain-lain. Sedangkan untuk hubungan sesama manusia, dalam Hamalimon dikenal Parbinotoan Naimbaru yang artinya bahwa Parmalim terbuka menerima perkembangan ilmu dan teknologi. Serta Ngolu Naimbaru yang berarti bahwa Parmalim harus selalu mengikuti perkembangan zaman dan peradaban tanpa melanggar ajaran Malim. Ini membuat Ugamo Malim sangat cair dan terbuka, sehingga menjadi salah satu agama asli daerah yang tetap hidup dan bertahan hingga sekarang.
Hingga saat ini, Agama Malim sudah dipeluk turun temurun selama 800 tahun oleh 35 generasi. Parmalim tak hanya ada di Sumatera Utara saja, tetapi juga tersebar seiring persebaran suku Batak di berbagai kota di Indonesia seperti Medan, Riau, Jambi, bahkan Tangerang dan Jakarta.Terdapat sekitar 5.500 orang atau 1.127 Kepala Keluarga Parmalim menurut buku Agama Malim di Batak (2010) yang ditulis oleh Ibrahim Gultom. Parmalim hidup di antara penganut agama-agama lain dengan damai, meski kadang sebagai minoritas memang sikap diskriminatif sangat sulit dihindari di negara ini. Misalnya ketika mengurus administrasi resmi atau bahkan anggapan bahwa mereka penganut agama sesat. Untungnya, tahun 2013, pemerintah telah mengeluarkan peraturan UU tentang kependudukan No. 24 yang memperbolehkan para Penghayat (termasuk Parmalim) untuk mengosongi kolom agama di KTP mereka.
Tak seperti agama asli di daerah lain yang terkesan ‘kuno’ atau didominasi kegiatan para orang tua, Malim dihidupi oleh seluruh generasi, termasuk anak-anak muda. Dalam data terakhir yang diperoleh dari Monang Naipospos (Humas Punguan Parmalim), saat ini penganut Parmalim mencapai 5.500 jiwa dengan 60%-nya merupakan anak muda. Anak-anak muda Parmalim bahkan punya organisasi kepemudaan bernama Tunas Naimbaru yang diisi oleh berbagai kegiatan, baik yang bersifat keagamaan, pendidikan, dan beragam lainnya.
Mereka dididik untuk bangga sebagai Parmalim, dan punya pikiran terbuka untuk menerima keberagaman agama-agama lain. Anak-anak muda penghayat Parmalim inilah yang punya tugas untuk (paling tidak) mengenalkan agama mereka ke masyarakat. Karena diskriminasi hanya akan terjadi jika pelakunya tidak memahami apa yang mereka hadapi. Dan di tengah glorifikasi terhadap keberagaman yang dimiliki Indonesia, Ugamo Malim bisa tetap hidup sebagai warisan nenek moyang, baik sebagai produk budaya, ataupun spiritual, atau justru keduanya.